Suryajagad.com - Jika dibandingkan dengan akhir tahun lalu, harga gula saat ini cenderung lebih murah. Bersamaan dengan itu, gempuran gula rafinasi hasil impor semakin menjadi. Akibatnya, para petani tebu merana karena harga tebu kini turun drastis.
Turunnya harga tebu itu pun langsung mendapat respon dari petani, saat ini para petani mulai enggan menanam tebu. Lebih jauh dampak yang sama juga dialami oleh perusahaan pengolah tebu, baik suasta ataupun milik negara. Gula impor yang banyak beredar di pasaran dalam bentuk gula rafinasi maupun gula putih kristal menyebabkan banyaknya petani tebu yang mangalami kebangkrutan.
Menurut rilisan kluget.com Ketua Umum Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) Arum Sabil mengatakan bahwa besarnya gula impor yang masuk ke pasaran membuat harga lelang petani tebu berada dibawah biaya produksi yang dikeluarkan petani.
Berdasarkan data PT Sucofindo, kebutuhan konsumsi gula industri di Indonesia untuk tahun ini sekitar 2,1 juta ton. Namun, pemerintah membebaskan izin impor gula kepada para importir sehingga gula impor yang beredar di pasaran mencapai hampir 4 juta ton. Sementara itu, kebutuhan konsumsi gula rumah tangga sebesar 2,2 juta ton. Seharusnya dapat dipenuhi oleh produksi gula nasional yang menghasilkan 2,5 juta ton.
“Jumlah gula rafinasi yang kelebihan itu akhirnya merembes dan membanjiri pasar di tingkat konsumsi. Padahal, seharusnya itu tidak sesuai dengan peredarannya. Di sini terjadi kekacauan supply and demandyang tidak seimbang,” jelas Sabil.
Akibat hal tersebut, banyak hasil petani tebu yang menumpuk dan surplus. “Seperti gula di Jatim tidak bisa keluar karena seluruh pasar tradisional dan modern sudah dipenuhi peredaran gula rafinasi dan gula Kristal putih yang bahan bakunya berasal dari impor," jelas Sabil.
Seharusnya ada tindakan lebih lanjut yang dilakukan pemerintah untuk melindungi para petani tebu lokal. Bila kecenderungan terhadap gula impor meningkat, maka para petani tebu banyak yang akan beralih ke tanaman lain. ( Sumber )
Redaksi@Suryajagad.Com