![]() |
Ilustrasi Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (Foto Dok Kompas) |
Suryajagad.Net - Setelah sekian lama kegiatan panas bumi terhambat berbagai
beraturan, akhirnya Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) melalui rapat paripurna,
Selasa (26/8), mengesahkan revisi undang undang (UU) Panas Bumi.Menteri ESDM
Jero Wacik menyampaikan beberapa konsepsi dan pokok-pokok peraturan yang terkandung
dalam UU Panasa Bumi hasil pembahasan bersama DPR dan pemerintah.
Jero Wacik menyebutkan, pengusahaan panas bumi tidak dikategorikan dalam
pengertian kegiatan pertambangan.
Sementara itu Jaringan Advokasi Tambang (Jatam)
Bagus (35) menengasakan dengan disahkannya Revisi Undang-undang nomor 27 tahun
2003 (UU
27/2003) tentang Panas Bumi, 26 Agustus 2014
kemarin, maka ke depan akan
semakin massif perambahan kawasan konservasi dan hutan lindung dengan dalih pemanfaatan panas bumi. Kawasan
konservasi yang selama ini menjadi
habitat terakhir satwa endemik dan langka, serta hutan lindung yang menjadi tumpuan resapan dan sumber air
masyarakat, seharusnya tidak bisa
diganggu-gugat keberadaannya mengingat fungsi layanan alamnya begitu penting bagi kehidupan manusia.
"Rusaknya wilayah serapan dan sumber air,
serta hidup di bawah ancaman longsor, akan menjadi keseharian
bagi masyarakat yang tinggal disekitar kawasan eksploitasi panas
bumi," kata Ki Bagus Pengkampanye Jaringan Advokasi Tambang (JATAM). "Apa lagi sebagian besar hutan di
Indonesia memiliki keterikatan kultural dengan
masyarakat sekitarnya."pungkasnya.
Ditambahkan, dengan dihilangkannya istilah "pertambangan" dalam revisi UU 27/2003, tampak jelas hanyalah siasat untuk menghilangkan hambatan dalam perijinan pemanfaatan panas bumi, terutama untuk pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP). Tahapan pelaksanaan dan perijinan dalam PLTP sendiri tidak berbeda dengan pertambangan, mulai dari penyelidikan, eksplorasi, studi kelayakan hingga eksploitasi. Pelarangan pertambangan dalam kawasan konservasi dan hutan lindung seharusnya berlaku juga bagi pertambangan panas bumi. Dalam hal revisi UU 27/2003 ini, seolah ada upaya "cuci otak" dan menciptakan anggapan bahwa eksploitasi panas bumi (PLTP) adalah hal yang berbeda dan jauh lebih bersih dari pertambangan,” tegasnya.
Revisi UU 27/2003 yang mengamanatkan dibolehkannya eksploitasi panas bumi di kawasan konservasi dan hutan lindung tentu akan mengancam wilayah serapan dan sumber mata air. Operasi PLTP yang rakus air merupakan ancaman bagi keselamatan masyarakat, mengingat pemanfaatan air dari kawasan hutan lindung sangat luas, tidak hanya bagi masyarakat yang tinggal di sekitar hutan. Belum lagi hilangnya kestabilan tanah akibat pengeboran panas bumi, terutama saat air diinjeksikan ke lapisan batuan yang sebelumnya kering dan tidak ada air di sana.
Menurut Dirjen Energi Baru dan Terbarukan dan Konservasi Energi ESDM,Rida Mulyana, potensi panas bumi yang berada di kawasan hutan konservasi sekitar 21% (Desember 2013). Dengan begitu, seharusnya menghilangkan istilah pertambangan dan memngijinkan eksploitasi panas bumi di kawasan konservasi dan hutan lindung, bukanlah menjadi hal yang mendesak. Apa lagi dengan bentang alam dan posisinya di khatulistiwa, Indonesia memiliki banyak potensi energi bersih dan terbarukan lainnya.
Ditambahkan, dengan dihilangkannya istilah "pertambangan" dalam revisi UU 27/2003, tampak jelas hanyalah siasat untuk menghilangkan hambatan dalam perijinan pemanfaatan panas bumi, terutama untuk pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP). Tahapan pelaksanaan dan perijinan dalam PLTP sendiri tidak berbeda dengan pertambangan, mulai dari penyelidikan, eksplorasi, studi kelayakan hingga eksploitasi. Pelarangan pertambangan dalam kawasan konservasi dan hutan lindung seharusnya berlaku juga bagi pertambangan panas bumi. Dalam hal revisi UU 27/2003 ini, seolah ada upaya "cuci otak" dan menciptakan anggapan bahwa eksploitasi panas bumi (PLTP) adalah hal yang berbeda dan jauh lebih bersih dari pertambangan,” tegasnya.
Revisi UU 27/2003 yang mengamanatkan dibolehkannya eksploitasi panas bumi di kawasan konservasi dan hutan lindung tentu akan mengancam wilayah serapan dan sumber mata air. Operasi PLTP yang rakus air merupakan ancaman bagi keselamatan masyarakat, mengingat pemanfaatan air dari kawasan hutan lindung sangat luas, tidak hanya bagi masyarakat yang tinggal di sekitar hutan. Belum lagi hilangnya kestabilan tanah akibat pengeboran panas bumi, terutama saat air diinjeksikan ke lapisan batuan yang sebelumnya kering dan tidak ada air di sana.
Menurut Dirjen Energi Baru dan Terbarukan dan Konservasi Energi ESDM,Rida Mulyana, potensi panas bumi yang berada di kawasan hutan konservasi sekitar 21% (Desember 2013). Dengan begitu, seharusnya menghilangkan istilah pertambangan dan memngijinkan eksploitasi panas bumi di kawasan konservasi dan hutan lindung, bukanlah menjadi hal yang mendesak. Apa lagi dengan bentang alam dan posisinya di khatulistiwa, Indonesia memiliki banyak potensi energi bersih dan terbarukan lainnya.
Pengirim: Saji Faturrohman
Editor : Byaz.