![]() |
Foto Dok Merdeka.com |
Suryajagad.Net Jakarta - Sistem
politik Indonesia memasuki fase baru. Undang-Undang Pemilihan Umum Kepala
Daerah (UU Pemilukada) yang disahkan pada 26 September 2014 mengubah cara
berdemokrasi bangsa Indonesia, terutama dalam menentukan pemimpin daerah.
Sistem pemilukada langsung oleh rakyat yang berlaku selama sepuluh tahun,
berganti menjadi pemilukada oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).
Sistem lama yang dinilai demokratis, ternyata menyebabkan dampak tak baik bagi bangsa. Sistem yang berbiaya mahal itu disebut telah melahirkan pemimpin daerah yang korup. Sistem baru yang juga diklaim demokratis, diyakini lebih menjamin mampu melahirkan gubernur dan bupati/wali kota yang amanat, meski dikritik sebagai kemunduran demokrasi.
Tak ada sistem yang benar-benar ideal, apalagi berlaku sepanjang masa. Sebab sistem menyesuaikan dengan situasi zaman, beradaptasi dengan tradisi, sistem ekonomi-sosial-budaya, dan banyak hal. Sistem pemilihan kepala daerah terus bermetamorfosis sejak sejarah modern Indonesia. Dalam kutipan viva.co.id (27/9/2014)
Sistem lama yang dinilai demokratis, ternyata menyebabkan dampak tak baik bagi bangsa. Sistem yang berbiaya mahal itu disebut telah melahirkan pemimpin daerah yang korup. Sistem baru yang juga diklaim demokratis, diyakini lebih menjamin mampu melahirkan gubernur dan bupati/wali kota yang amanat, meski dikritik sebagai kemunduran demokrasi.
Tak ada sistem yang benar-benar ideal, apalagi berlaku sepanjang masa. Sebab sistem menyesuaikan dengan situasi zaman, beradaptasi dengan tradisi, sistem ekonomi-sosial-budaya, dan banyak hal. Sistem pemilihan kepala daerah terus bermetamorfosis sejak sejarah modern Indonesia. Dalam kutipan viva.co.id (27/9/2014)
Sementara itu dalam rilisan bisnis.com hasil voting sidang
Paripurna DPR RUU Pilkada pada Jumat dinihari (26/9/2014) memutuskan Pemilihan
Umum Kepala Daerah dipilih oleh DPRD.
Jumlah suara yang memilih
opsi pertama (Pilkada langsung oleh rakyat) sebanyak 135 orang anggota DPR.
Sementara itu, yang memilih opsi II (Pilkada lewat DPRD) sebanyak 226 orang
anggota DPR. Abstain 0 (nol).
Berikut ini rincian dari
voting:
Golkar: Pilkada Langsung: 11 orang .Pilkada lewat
DPRD: 73 orang abstain: 0
PDIP: Pilkada Langsung: 88
orang. Pilkada lewat DPRD: 0 orang abstain: 0
PKS: Pilkada Langsung: 0 orang.
Pilkada lewat DPRD: 55 orang abstain: 0
PAN: Pilkada Langsung: 0 orang. Pilkada lewat DPRD: 44 orang abstain: 0
PPP: Pilkada Langsung: 0 orang.
Pilkada lewat DPRD: 32 orang abstain:
0
PKB: Pilkada Langsung: 20
orang. Pilkada lewat DPRD: 0 orang abstain: 0
Gerindra: Pilkada Langsung: 0
orang. Pilkada lewat DPRD: 22 orang abstain: 0
Hanura : Pilkada Langsung: 10
orang. Pilkada lewat DPRD: 0 orang abstain: 0
Demokrat : Pilkada Langsung: 6
orang. Pilkada lewat DPRD: 0 orang abstain: 0.
Tahun 2014 adalah tahun baru bagi sistem politik Indonesia.
Kepala daerah kembali dipilih DPRD, sebagaimana diamanatkan Undang-Undang
Pemilukada yang baru disahkan. Hiruk-pikuk kampanye pemilukada yang terjadi
sepanjang tahun di seluruh wilayah di Tanah Air, berakhir di tahun ini.
Kepala daerah dan wakil kepala daerah tak lagi ditentukan di tempat pemungutan suara yang kadang digelar di tempat terbuka dengan risiko kehujanan atau kepanasan. Pemimpin daerah akan ditentukan di ruang-ruang rapat paripurna DPRD provinsi dan kota/kabupaten se-Indonesia. Sistem baru itu diklaim lebih efisien dibanding pemilukada langsung menguras anggaran hingga ratusan miliar rupiah.
Sistem yang diklaim lebih efisien itu diyakini juga akan menekan tingkat korupsi, karena selama ini para kepala daerah terpilih ingin kembali modal atas biaya yang dikeluarkan selama pencalonan. Tapi, pemilihan yang akan dilakukan di ruang-ruang rapat DPRD itu jelas tertutup bagi partisipiasi khalayak. Sebagian kalangan memperkirakan potensi politik traksaksional antara calon kepala daerah dengan DPRD.(Byaz)
Kepala daerah dan wakil kepala daerah tak lagi ditentukan di tempat pemungutan suara yang kadang digelar di tempat terbuka dengan risiko kehujanan atau kepanasan. Pemimpin daerah akan ditentukan di ruang-ruang rapat paripurna DPRD provinsi dan kota/kabupaten se-Indonesia. Sistem baru itu diklaim lebih efisien dibanding pemilukada langsung menguras anggaran hingga ratusan miliar rupiah.
Sistem yang diklaim lebih efisien itu diyakini juga akan menekan tingkat korupsi, karena selama ini para kepala daerah terpilih ingin kembali modal atas biaya yang dikeluarkan selama pencalonan. Tapi, pemilihan yang akan dilakukan di ruang-ruang rapat DPRD itu jelas tertutup bagi partisipiasi khalayak. Sebagian kalangan memperkirakan potensi politik traksaksional antara calon kepala daerah dengan DPRD.(Byaz)