Suryajagad.Net - Pengukuhan Joko Widodo dan Jusuf Kalla (Jokowi –
JK) sebagai Presiden dan Wakil Presiden, masih menyisakan pertanyaan, siapakah
yang akan mengisi pos-pos menteri yang akan membantu Jokowi – JK lima tahun ke depan.
Berbagai prediksi dan rumor pengisi jabatan menteri kabinet Jokowi – JK saat
ini santer di berbagai media, termasuk sejumlah nama yang telah disetorkan kepada
KPK dan PPATK.
Dari sejumlah nama yang beredar, apakah Jokowi – JK
tetap akan melanjutkan kebobrokan pengurusan sumber daya alam (SDA) yang telah
dikuasai oleh mafia-mafia tambang dan energi yang bersinergi dengan kaum
neoliberal, dengan menyerahkan kepengurusan SDA kepada orang yang merupakan
bagian dari kebobrokan dan mafia tersebut.
Perubahan yang dijanjikan Jokowi – Jk akan sangat
ironis dan mengecewakan banyak pihak jika masih menggandeng orang-orang yang
menyebabkan kepengurusan SDA tambang dan energi tidak lepas dari tangan-tangan
mafia, khususnya sektor energi yang menyangkut hajat hidup banyak orang. Krisis
energi di pelosok Negeri tidak bisa ditutupi-tutupi dengan jargon-jargon
pertumbuhan ekonomi. Kenaikan dan antrian BBM menjadi masalah yang terus
berulang tiap tahun. Pemadaman listrik bergilir hingga 10.211 desa yang belum
teraliri listrik, merupakan potret salah urus serta kenyataan yang tak bisa
diukur dengan angka-angka makro. Sepuluh tahun kepemimpinan Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono (SBY)terbukti gagal mengatasi kebutuhan dasar rakyat
Indonesia akan energi.
Potret kegagalan masa lalu harus dibenahi
bersama-sama dengan personal yang tepat, mengingat carut-marutnya pengelolaan
tambang dan energi yang diwariskan. Mulai dari pelanggaran HAM, tumpang tindih
perijinan dengan kawasan hutan, membuka investasi secara serampangan, hingga
penciptaan ketergantungan yang besar terhadap sumber energi fosil sehingga
mendorong pengerukan Sumber daya alam semakin massif. Carut-marut tata kelola
tambang dan energi tersebut tampak dalam
berbagai program dan kebijakan yang digagas oleh rezim SBY, mulai dari UU
Minerba, Fast Track Program, Low Cost Green Car (LCGC), Masterplan
Percepatan dan Pemerataan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI), hingga
permasalahan penyelesaian konflik pertambangan yang ternyata malah banyak
menyingkirkan masyarakat.
Bahkan Unit Kerja Presiden bidang Pengawasan dan
Pengendalian Pembangunan (UKP4) bentukan SBY juga tak luput dari nilai merah.
Berbagai konflik pertambangan, perkebunan dan kehutanan yang selama ini
ditangani UKP4 hingga saat ini tidak jelas penyelesaiannya, seperti dalam kasus
tambang bijih besi di Pulau Bangka Sulawesi Utara, misalnya.
Namun sayangnya, hingga saat ini nama yang beredar
untuk mengisi jabatan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) masih belum
bisa dikatakan memiliki kekuatan perubahan yang berorientasi pada penyelamatan
dan pemulihan ruang hidup masyarakat. Dari nama-nama yang beredar dari berbagai versi (KAUR, Indo Barometer,
Intrans dan nama yang disetorkan pada KPK) seperti Kuntoro Mangkusubroto, Karen
Agustiawan dan Effendi Simbolon, dengan rekam jejaknya dalam pemerintahan dan
pengelolaan tambang dan energi, maka kecil kemungkinan akan ada perbaikan dalam
pengelolaan tambang dan energi ke depan.
Presiden Jokowi harus mampu meletakkan tangggung
jawab pengurusan SDA tambang dan energi kepada personal yang tak memiliki rekam
jejak kegagalan masa lalu dan bagian dari mafia. Bukan semata-mata professional
murni atau partai. Memiliki integritas dan kapasitas manajerial yang mengedepankan
kepentingan rakyat dan bangsa.
Jika watak Menteri ESDM ke depan masih “keruk
habis, jual cepat”, maka dipastikan pengelolaan tambang dan energi Jokowi – JK
hanya akan mengacu pada Path Dependency
yang telah diciptakan oleh rezim sebelumnya. Meminjam jargon kampanye SBY dalam
Pilpres 2009, maka hanya ada kata “LANJUTKAN!” dalam pengelolaan tambang dan
energi lima tahun ke depan.
Editor : Byaz