Suryajagda.Net - Negara ini senantiasa diselimuti kekhawatiran dari waktu ke
waktu. Kekhawatiran itu ialah atmosfer politik disesaki politikus yang tidak
berkelas negarawan. Kala negara mengalami defisit negarawan, politik bisa
menjelma menjadi monster kekuasaan yang tamak.
Monster kekuasaan bercirikan, antara lain,
pengabaian dengan kesadaran penuh atas moralitas dan etika. Segala macam cara
ditempuh untuk meraih dan mengabadikan kekuasaan. Perebutan pimpinan parlemen
ialah satu di antara banyak contoh penerabasan moralitas. Rambu-rambu etika
tidak lagi mampu membendung syahwat berkuasa yang bergelora dan bergemuruh di
dalam kesadaran politik para elite.
Kekhawatiran itu sejenak sirna. Sepertinya ada
kemauan yang kuat, sangat kuat, di kalangan elite politik untuk mengembangkan
diri dan berperan menjadi negarawan. Mereka tidak perlu berlama-lama
membenamkan diri menjadi politikus. Perbedaan mendasar antara politikus dan
negarawan ialah politikus memikirkan pemilihan yang akan datang, sedangkan
negarawan memikirkan generasi yang akan datang.
Kemauan yang sangat kuat untuk berperan sebagai
negarawan itu sama-sama muncul dalam diri politikus yang tergabung dalam
Koalisi Indonesia Hebat pendukung Jokowi-JK dan Koalisi Merah Putih pendukung
Prabowo-Hatta.
Mereka mau bersilaturahim. Itu diawali
pertemuan presiden terpilih Joko Widodo dengan pemimpin MPR, DPR, dan DPD pada
10 Oktober, dilanjutkan dengan pertemuan Jokowi dan Ketua Umum Partai Golkar
Aburizal Bakrie pada 14 Oktober dan berpuncak pada pertemuan Jokowi dengan
Prabowo Subianto, kemarin.( Prabowo Sambut Baik Pertemuan Dengan Jokowi )
Pertemuan Jokowi dan Prabowo disebut sebagai
puncak silaturahim karena itulah pertemuan pertama sejak Jokowi dan Jusuf Kalla
ditetapkan sebagai presiden dan wakil presiden terpilih. Jokowi menjadi rival
Prabowo pada Pilpres 2014. Konfigurasi politik setelah pilpres pun terbelah.
Persaingan dan perseteruan di antara dua kubu itu menuai reaksi negatif dari
pasar saham dan pasar uang. Sebaliknya, pasar menyambut ramah pertemuan
Jokowi-Prabowo.
Silaturahimi Jokowi dengan Prabowo mencerminkan
dua hal. Pertama, Jokowi sebagai pemenang pilpres tetap tulus dan rendah hati.
Sang pemenang itu bersedia mendatangi Prabowo di kediamannya. Itu artinya
Jokowi dengan hati lapang menerima realitas politik bahwa parlemen dikuasai
kubu Prabowo. Kedua, kesediaan Prabowo menerima Jokowi bisa menepis kecaman
yang menyebutnya tidak sportif menerima kekalahan dalam pilpres.
Pelajaran yang bisa diserap dalam silaturahim
itu ialah perbedaan pandangan politik tidak memutuskan tali silaturahim. Mereka
pantas disebut sebagai negarawan karena mendahulukan kepentingan bangsa dan
negara di atas segala-galanya, termasuk melupakan rivalitas dalam pilpres.
Apalagi, saat bertemu, keduanya memiliki obsesi besar bagaimana mengelola
negara dengan penuh kewibawaan dan kebijaksanaan demi mencapai Indonesia yang
hebat.
Negara ini jelas membutuhkan lebih banyak lagi
sosok negarawan. Di tangan merekalah sesungguhnya Indonesia dipertaruhkan agar
lebih hebat.
Sumber: Mediaindonesia.com
Editor : Byaz.