Suryajagad.Net
- Puluhan tahun sebelum masehi, seorang filsuf dan cendikiawan hokum asal Romawi bernama Cicero pernah mengatakan,
"solus populi suprema lex est
(keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi)". Berlandas dari
ucapan Cicero ini sebenarnya kita bisa mengukur
sudah ataukah belum Pemerintah
Republik Indonesia melaksanakan amanat konstitusi. Sebuah negara dinilai telah serius melaksanakan amanat konstitusi
adalah dengan menakar seberapa
hirau negara tersebut menempatkan keselamatan warganya sebagai sesuatu yang utama.
Kebijakan Pemerintah Indonesia hari ini belumlah menempatkan urusan keselamatan warga sebagai urusan utama yang harus didahulukan. Urusan keselamatan warga kerap kali dikalahkan oleh kepentingan penanaman modal (investasi). Kenyataan ini bisa kita temui di dalam 3 problem ekologis seperti : 1) kasus reklamasi Teluk Benoa, 2) rencana eksploitasi emas di hutan lindung G. Tumpang Pitu oleh PT Bumi Suksesindo (BSI), dan 3) rencana pendirian pabrik semen di Rembang dan Pati (eksploitasi kawasan karst Pegunungan Kendeng).
Hitung-hitungan pragmatisme kapitalistik dan alasan menjaga stabilitas iklim investasi selalu didahulukan oleh Pemerintah RI dalam merestui 3 rencana di atas (reklamasi Teluk Benoa, Tambang Emas Tumpang Pitu, dan Pendirian pabrik semen di Rembang serta Pati). Rakyat sebagai pemilik kedaulatan justru hak-hak dasarnya dipinggirkan.
Hutan Lindung G. Tumpang Pitu dan Kawasan Karst Pegunungan Kendeng adalah kawasan resapan air. Kebutuhan air (baik bagi pertanian maupun konsumsi sehari-hari) warga sekitar Tumpang Pitu dan Pegunungan Kendeng dipenuhi oleh kemampuan 2 kawasan tersebut dalam mengemban fungsi kodratinya sebagai kawasan resapan air.
Mengubah 2 kawasan tersebut menjadi kawasan pertambangan, tidak hanya akan mengganggu kebutuhan air warga, tetapi juga akan berdampak terhadap keselamatan warga, karena kedua kawasan tersebut merupakan kawasan rentan.Terlebih lagi bagi Tumpang Pitu yang telah memiliki cacatan sejarah terkena tsunami pada tahun 1994.
Ancaman banjir juga siap membekap warga sekitar Teluk Benoa jika reklamasi yang sejatinya hanya mengakomodasi kepentingan pemodal itu direstui. Negara seakan-akan tak mendahulukan keselamatan rakyat yang notabene adalah pemilik kedaulatan, dan kemudian lebih memilih menjadi pelayan yang berupaya memuaskan hati segelintir saudagar atau korporasi.
Kami PKN Mapala Indonesia, bukanlah kumpulan manusia anti-pembangunan.Namun, kami meyakini bahwa sebagai negara dengan kekayaan hayati yang melimpah, seyogyanya Indonesia mendesain pembangunan agar bersinergi dengan kekayaan hayatinya yang berkelanjutan. Investasi yang baik tentunya bukan investasi yang membunuh hak rakyat atas air. Investasi yang baik tentunya bukan investasi yang menghancurkan sumber nafkah rakyat yang telah ditekuni dan telah lama pula terbukti berkelanjutan (seperti pertanian).
Berdasarkan semua itu, kami mendesak kepada Presiden Indonesia untuk:
Kebijakan Pemerintah Indonesia hari ini belumlah menempatkan urusan keselamatan warga sebagai urusan utama yang harus didahulukan. Urusan keselamatan warga kerap kali dikalahkan oleh kepentingan penanaman modal (investasi). Kenyataan ini bisa kita temui di dalam 3 problem ekologis seperti : 1) kasus reklamasi Teluk Benoa, 2) rencana eksploitasi emas di hutan lindung G. Tumpang Pitu oleh PT Bumi Suksesindo (BSI), dan 3) rencana pendirian pabrik semen di Rembang dan Pati (eksploitasi kawasan karst Pegunungan Kendeng).
Hitung-hitungan pragmatisme kapitalistik dan alasan menjaga stabilitas iklim investasi selalu didahulukan oleh Pemerintah RI dalam merestui 3 rencana di atas (reklamasi Teluk Benoa, Tambang Emas Tumpang Pitu, dan Pendirian pabrik semen di Rembang serta Pati). Rakyat sebagai pemilik kedaulatan justru hak-hak dasarnya dipinggirkan.
Hutan Lindung G. Tumpang Pitu dan Kawasan Karst Pegunungan Kendeng adalah kawasan resapan air. Kebutuhan air (baik bagi pertanian maupun konsumsi sehari-hari) warga sekitar Tumpang Pitu dan Pegunungan Kendeng dipenuhi oleh kemampuan 2 kawasan tersebut dalam mengemban fungsi kodratinya sebagai kawasan resapan air.
Mengubah 2 kawasan tersebut menjadi kawasan pertambangan, tidak hanya akan mengganggu kebutuhan air warga, tetapi juga akan berdampak terhadap keselamatan warga, karena kedua kawasan tersebut merupakan kawasan rentan.Terlebih lagi bagi Tumpang Pitu yang telah memiliki cacatan sejarah terkena tsunami pada tahun 1994.
Ancaman banjir juga siap membekap warga sekitar Teluk Benoa jika reklamasi yang sejatinya hanya mengakomodasi kepentingan pemodal itu direstui. Negara seakan-akan tak mendahulukan keselamatan rakyat yang notabene adalah pemilik kedaulatan, dan kemudian lebih memilih menjadi pelayan yang berupaya memuaskan hati segelintir saudagar atau korporasi.
Kami PKN Mapala Indonesia, bukanlah kumpulan manusia anti-pembangunan.Namun, kami meyakini bahwa sebagai negara dengan kekayaan hayati yang melimpah, seyogyanya Indonesia mendesain pembangunan agar bersinergi dengan kekayaan hayatinya yang berkelanjutan. Investasi yang baik tentunya bukan investasi yang membunuh hak rakyat atas air. Investasi yang baik tentunya bukan investasi yang menghancurkan sumber nafkah rakyat yang telah ditekuni dan telah lama pula terbukti berkelanjutan (seperti pertanian).
Berdasarkan semua itu, kami mendesak kepada Presiden Indonesia untuk:
1. Menjadikan
aspek keselamatan warga sebagai arus utama dalam setiap pembangunan di Indonesia.
2. Mendesain
pembangunan Indonesia yang berkelanjutan, merakyat, dan tak berbenturan dengan kenyataan ekologi Indonesia
sebagai negara megabiodiversitas.
3. Menghentikan
rencana reklamasi Teluk Benoa, serta mencabut ijin-ijin yang terkait dengan realisasi reklamasi
Teluk Benoa.
4. Menginstruksikan
kepada Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan
untuk mencabut surat keputusan Menteri Kehutanan yang mengijinkan penurunan status Hutan Lindung Gunung
Tumpang Pitu jadi hutan produksi.
(SK 826/Menhut -II/2013 tertanggal 19 November 2013).
5. Menginstruksikan
kepada kepada Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan mencabut status Hutan Tumpang Pitu sebagai
hutan produksi, dan mengembalikan
status semula sebagai hutan lindung.
6. Menghentikan
rencana tambang emas di hutan lindung G.Tumpang Pitu, serta
menginstruksikan kepada menteri terkait untuk mencabut ijin-ijin yang mendorong realisasi tambang
emas di hutan lindung G. Tumpang
Pitu.
7. Menginstruksikan
kepada Kapolri agar polisi mencabut ijin peredaran/perdagangan merkuri dan sianida di kawasan Tumpang Pitu.
8. Menghentikan
rencana pembangunan pabrik semen di Rembang dan Pati, serta mencabut ijin-ijin yang terkait dengan
realisasi reklamasi pabrik semen
tersebut.
9. Menjadikan
aspek konservasi dan keselamatan warga sebagai arus utama dalam pengelolaan semua kawasan karst yang
ada di Indonesia.
Kertas posisi ini disiapkan untuk melengkapi
aksi "MAPALA MENGGUGAT" (Bunderan
HI Jakarta, 28 Oktober 2014). Aksi
"MAPALA MENGGUGAT" diselenggarakan oleh Pusat Koordinasi Nasional Mahasiswa
Pecinta Alam (PKN MAPALA) Indonesia bekerjasama
dengan Pusat Koordinasi Daerah (PKD) MAPALA Jawa Timur.
Contact
person : Romadhon Arif Firmansyah ( hp 08970260212 / 7ebe397b), Vicky
Maulana Jatim ( hp 085646164033). Jaringan Advokasi Tambang (JATAM)
Jl. Mampang Prapatan IV No.30B.RT.008/RT.002 Tlp:
+621 7997174 Fax: +621 7997849
Kontak Person:+6281514445377 Website: www.jatam.org