Suryajagad.Net - Bersedih saat mendapat musibah
kematian orang yang dicintai merupakan keadaan yang lumrah bagi setiap orang.
Yang menjadi masalah adalah ketika kesedihan itu diungkapkan dengan cara yang
tidak semestinya, yang menunjukkan ketidaksabaran dalam menerima musibah
tersebut.
Dunia Tempat Ujian dan Cobaan
dan sudah menjadi sunnatullah bahwasanya dunia adalah tempat ujian dan cobaan,
sehingga datangnya merupakan suatu kepastian. Seorang hamba yang mengaku
beriman kepada Allah dan hari akhir mesti bersiap diri menghadapi ujian dan
cobaan tersebut, karena seorang hamba tidak dibiarkan dengan pengakuan keimanan
dari lisannya sampai datang pembuktian berupa ujian. Allah yang Maha Suci
menyatakan dalam Al Qur`an:
“Apakah manusia itu mengira bahwa mereka akan dibiarkan saja mengatakan: ‘Kami telah beriman’, sedang mereka belum diuji? Dan sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang sebelum mereka, agar Allah sungguh-sungguh mengetahui siapa orang-orang yang benar (dalam keimanannya) dan benar-benar mengetahui siapa orang-orang yang dusta.” (‘Al-Ankabut: 2-3)
Ujian dan cobaan yang
menghampiri hamba beragam macam dan bentuknya, bisa berupa kekurangan harta,
hilangnya jiwa, kelaparan, dan sebagainya. Allah berfirman:
“Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kalian dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.” (Al-Baqarah: 155)
Islam mengajarkan ummatnya, bahwa sesungguhnya orang yang mati itu hanyalah jasad dan nafsunya sedangkan ruh akan tetap abadi. Sedang duka tidak dapat menghidupkan orang yang sudah mati dan tidak dapat menolak takdir Allah. Oleh kerana itu setiap mu’min harus menerima kematian ini sebagaimana halnya menerima musibah, harus sabar dengan mencari keridhaan Allah serta mengambil suatu pelajaran dengan mengharapkan pertemuan abadi di akhirat, sambil mengulang-ulang kalimat inna lillahi wainna ilaihi raji’un (sesungguhnya kami adalah milik Allah, dan kepadanyalah kami akan kembali).
Adapun
apa yang diperbuat oleh orang-orang jahiliah, adalah mungkar dan haram yang
tidak diakui oleh Rasulullah s.a.w, sebagaimana sabdanya: “Tidak termasuk
golongan kami orang yang menampar pipi dan merobek-robek pakaian dan menyeru
dengan seruan jahiliah.” (Riwayat Bukhari).
Tidak
halal seorang muslim memakai tanda khusus untuk berkabung atau tidak berhias
atau mengganti pakaian dan gerak yang sudah biasa, demi menampakkan perasaan duka
dan sedih. Kecuali isteri karena ditinggal mati oleh suaminya, dia harus
melakukan berkabung selama empat bulan sepuluh hari, guna memenuhi hak suami
dan demi ikatan suci yang telah menghubungkan antara keduanya.
Sehingga
dia tidak menampakkan perhiasan dan tidak menjadi sasaran mata orang-orang yang
hendak meminangnya selama dalam iddah itu. Yang oleh Islam dianggap sebagai
melanjutkan beberapa hak suami dalam perkawinannya yang telah terdahulu dan
sebagai anyaman atas perkawinan yang lalu.
Tetapi
kalau yang mati itu kebetulan bukan suami, misalnya ayah, anak atau saudara,
maka tidak halal seorang perempuan berkabung lebih dari tiga hari.
Rasulullah
s.a.w. bersabda: “Tidak halal seorang perempuan yang beriman kepada Allah dan
hari akhir, berkabung karena kematian, lebih dari tiga malam, kecuali atas
kematian suami, maka harus berkabung empat
bulan sepuluh hari.” (Riwayat Bukhari)
Pada
hakekatnya kita semua akan mengalami yang namanya kematian ,di dunia adalah ladang
untuk mempersiapkan bekal kelak di akherat dan bekal tersebut hanya tiga
perkara yang dibawa. Rasulullah bersabda: “ Apabila seseorang itu meninggal dunia maka
terputuslah amalannya kecuali dari tiga perkara, Shodaqoh jariah, ilmu yang
bermanfaat dan anak yang sholeh dan sholehah mendoakan untuknya ” .( Hr.Abu
Hurairah) (Byaz)