Suryajagad.Net - Pernikahan
merupakan sunah nabi yang sangat dianjurkan pelaksanaannya bagi umat islam.
Pernikahan adalah suatu peristiwa yang fitrah, dan sarana paling agung dalam
memelihara keturunan dan memperkuat antar hubungan antar sesame manusia yang
menjadi sebab terjaminnya ketenangan cinta dan kasih sayang.
Bahkan Nabi pernah melarang sahabat yang berniat untuk
meninggalkan nikah agar bisa mempergunakan seluruh waktunya untuk beribadah
kepada Allah, karena hidup membujang tidak disyariatkan dalam agama. Oleh
karena itu, manusia disyariatkan untuk menikah.
Dalam pernikahan harus ada wali dan yang dinamakan wali
nikah ya orang yang sedarah dengan kamu, dan dalam Islam hubungan darah dilihat
dari laki-laki. Dan yang paling berhak atas anak perempuan adalah ayah
perempuan itu. Bila tidak ada ayah maka sebagai ganti adalah paman/pakdenya dan
bila tidak punya paman/pakde maka kakeknya. Bila kakek tidak ada maka kakak
laki-lakinya serta bila tidak punya kakak laki-laki maka adik laki-lakinya.
Seandainya dari semua itu pihak perempuan tidak mempunyai salah satu
diantaranya maka akan memakai wali hakim, hal ini akan ditentukan oleh
KUA/penghulu.
Perlu diingat, seandainya orang tua perempuan bercerai dan dia hidup jauh dari
ayahnya atau jauh dari laki-laki tersebut diatas. Maka wajib didatangkan walaupun
itu dari kutub utara sekalipun. Dengan menimbang bilamana hal itu tidak mungkin
terjadi karena suatu hal/halangan, maka akan diputuskan wali hakim oleh pihak
KUA.
Pengertian Wali Nikah adalah orang yang menikahkan seorang wanita dengan
seorang pria. Karena wali nikah dalam Hukum perkawinan merupakan rukun yang
harus dipenuhi oleh calon mempelai wanita yang bertindak menikahkannya. Hukum
Nikah tanpa Wali Nikah berarti pernikahannya tidak sah. Ketentuan ini
didasarkan pada hadis Nabi Muhammad SAW yang mengungkapkan: tidak
sah dalam perkawinan, kecuali dinikahkan oleh wali.
Syarat wali nikah :
1. laki-laki;
2. dewasa;
3. mempunyai hak perwalian;
4. tidak terdapat halangan perwalian.
Status Wali Nikah dalam Hukum Perkawinan merupakan
rukun yang menentukan sahnya akad nikah (perkawinan). Seseorang yang menjadi
wali nikah harus memenuhi Syarat wali nikah, yaitu laki-laki, dewasa,
mempunyai hak perwalian dan tidak terdapat halangan perwalian seperti yang
diatur dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 20 angka (1) bahwa yang bertindak
sebagai wali nikah ialah seorang laki-laki yang memenuhi syarat hukum islam,
yakni muslim, aqil dan baligh. Dalam pelaksanaan akad
nikah, penyerahan (ijab) dilakukan oleh wali nikah perempuan atau yang
mewakilinya. dan Penerimaan (qabul) dilakukan oleh mempelai laki-laki.
Wali Nikah dalam Hukum Perkawinan terbagi atas 2 (dua)
macam, yaitu:
1. Wali Nikah Nasab
Wali Nikah Nasab ialah wali nikah yang hak perwaliannya
didasari oleh adanya hubungan darah. Contoh wali Nikah Nasab: orang tua
kandung, sepupu satu kali melalui garis ayahnya.
2. Wali Nikah Hakim
Wali Nikah Hakim adalah wali nikah yang hak perwaliannya timbul
karena orang tua perempuan menolak atau tidak ada, atau karena sebab
lainnya.
Urutan Wali Nikah dalam Pasal 22 Kompilasi Hukum
islam akan diuraikan sebagai berikut:
Ayah Kandung, Kakek (dari garis ayah dan seterusnya ke
atas dalam garis laki-laki), Saudara laki-laki sekandung, Saudara
laki-laki seayah, Anak laki-laki dari saudara laki-laki sekandung, Anak
laki-laki saudara laki-laki seayah, Anak laki-laki dari anak laki-laki saudara
laki-laki sekandung, Anak laki-laki dari anak laki-laki saudara laki-laki
seayah, Saudara laki-laki ayah sekandung, Saudara laki-laki ayah seayah (paman
seayah), Anak laki-laki dari paman sekandung, Anak laki-laki dari paman seayah,
Saudara laki-laki kakek seayah. Anak laki-laki dari saudara laki-laki kakek
sekandung, Anak laki-laki dari saudara laki-laki kakek seayah .
“Wahai para pemuda, siapa saja
diantara kalian yang telah mampu untuk kawin, maka hendaklah dia menikah.
Karena dengan menikah itu lebih dapat menundukkan pandangan dan lebih menjaga
kemaluan. Dan barang siapa yang belum mampu, maka hendaklah dia berpuasa, karena
sesungguhnya puasa itu bisa menjadi perisai baginya” (HR. Bukhori-Muslim).
“Barangsiapa yang menikahkan
(putrinya) karena silau akan kekayaan lelaki meskipun buruk agama dan
akhlaknya, maka tidak akan pernah pernikahan itu dibarakahi-Nya, Siapa yang menikahi
seorang wanita karena kedudukannya, Allah akan menambahkan kehinaan kepadanya,
Siapa yang menikahinya karena kekayaan, Allah hanya akan memberinya kemiskinan,
Siapa yang menikahi wanita karena bagus nasabnya, Allah akan menambahkan
kerendahan padanya, Namun siapa yang menikah hanya karena ingin menjaga
pandangan dan nafsunya atau karena ingin mempererat kasih sayang, Allah
senantiasa memberi barakah dan menambah kebarakahan itu padanya” (HR.
Thabrani).
“Janganlah kamu menikahi wanita
karena kecantikannya, mungkin saja kecantikan itu membuatmu hina. Jangan kamu
menikahi wanita karena harta / tahtanya mungkin saja harta / tahtanya membuatmu
melampaui batas. Akan tetapi nikahilah wanita karena agamanya. Sebab, seorang
budak wanita yang shaleh, meskipun buruk wajahnya adalah lebih utama” (HR.
Ibnu Majah).
Islam sangat memberikan perhatian
terhadap pembentukan keluarga hingga tercapai sakinah, mawaddah, dan warahmah
dalam pernikahan. Pernikahan memiliki tujuan untuk mengharapkan keridhoan Allah
Ta’ala. (Byaz)