Suryajagad.Net - Setiap kali
menjelang siang, Toile berkeliling kemana-mana. Kadang-kadang ke Balai Desa,
masjid atau gereja, lebih sering ke Kali Sawang. Simbahnya membiarkan Toile
pergi semaunya, sampai dia sendiri harus kelabakkan mencari cucu satu-satunya.
Toile bukan anak ayam yang akan pulang bila menjelang sore. Toile akan pulang,
jika dia berkehendak makan atau ingat kandang burungnya.
“Nanti kalau keluar, pulangnya
jangan terlalu malam, Le! Nanti simbah khawatir.” Ujar Simbah yang berdiri di
depan pintu. Toile yang duduk memeluk lutut di samping kandang burung, menoleh
ke arah Simbah. Sebentar. Lalu kembali pada kandang burungnya. Toile akan
mendengar, tapi tak akan menjawab. Simbah akan memaklumi tingkahnya dan
membiarkan Toile melenggang lari setelah bosan dengan kandang burungnya.
“Bahkan engkau masih belum sadar, jika burungmu sudah mati, Le!”
Sebenarnya Toile sudah cukup umur
untuk mengerti, jika burungnya telah mati. Tapi Toile belum cukup umur untuk
jadi gila. Astaga! Anak sekecil itu. Hidup dari beban ke beban. Dia akan banyak
diam. Dia juga akan banyak menceracau setibanya dia merasa geram. Apalagi jika
dia ingat akan kelahiran dan yang melahirkan. Rupanya dia telah sering menelan
serangkaian empedu dari peristiwa ke peristiwa.
Setiap pergi, dia akan di sana.
Di Balai Desa mengadu kepada Kepala Desa. Di masjid-masjid mengadu kepada Tuhan
milik ayahnya. Di gereja-gereja mengadu Tuhan milik ibunya. Atau di Kali Sawang
mengadu pada air dan gemericiknya.
“Sayang sekali! Anak sekecil itu
harus jadi bahan percobaan ibunya.” Mulut orang-orang akan serampangan begitu
melihat Toile melintas di depan mereka. Toile tampak tidak perduli, apalagi
mengerti. Tapi justru Toile yang sangat mengerti bagaimana dulu ibunya
menggerakkannya. Sama sekali Toile tidak pernah mendapatkan ranumnya air susu
dari ibunya.
Ibunya memaksa menyusuinya dari sedotan-sedotan hangat air tajin,
dengan sedikit parutan gula jawa yang dicampurkan agar bisa menawarkan dari
rasa asin. Ketika Toile beranjak bisa memiringkan tubuh, Ibunya memaksa Toile
untuk bisa duduk. Ketika beranjak bisa duduk, Toile dipaksa bisa merangkak.
Ketika beranjak bisa merangkak, Toile dipaksa bisa berjalan. Ketika beranjak
bisa berjalan, Toile dipaksa menjadi bapak bagi dirinya sendiri.
Bahkan orang-orang itu tidak jauh
lebih tahu dari Kali Sawang, yang menyimpan serangkaian cerita atas hidup
Toile. Di Kali Sawang, Toile membiarkan dirinya berbicara dan mendoa segala-galanya.
Toile dan Kali Sawang telah memiih takdirnya sendiri untuk bertahan dari hidup.
Kali Sawang, bukan lagi mencari udara tetapi sejenis benda yang bisa dibentuk
semaunya. Sekumpulan air. Dia menyukai air apapun dan dari manapun.
Boleh jadi
hari ini air hujan, limbah pabrik, air kencing, atau yang lebih banyak berasal
dari airmata. Air di Kali Sawang hampir-hampir memang bersumber dari airmata
pendoa. Mereka adalah sekumpulan airmata yang diperas agar air di Kali Sawang
tetap mengalir. Bahkan jika mereka tidak mau menangis, maka akan ada takdir
yang akan memburukkan keadaan mereka sehingga mereka akan berdoa sembari
menangis. Toile telah menjadi salah satu dari mereka.
Di atas batu besar yang tertanam
di pinggiran kali, Toile menyandarkan ringkih tubuhnya. Sapuan angin yang
meniupkan sorak-sorai dedaunan yang tertampar-tampar, membuatnya semakin
gelisah. Toile harus teringat akan nasib yang menggorok jantungnya. Menyisir
perlahan. Berjalan-jalan membentuk garis darah. Sirr! Jantungnya tersayat meluber
isinya.
Sehidup sekali Toile memang harus
berdoa sebisanya. Bagi jiwa-jiwa yang telah berat di sukma, seringkali Toile
menghembuskan nafas berat dan mulai berdoa.” Wahai Tuhan dan Kali Sawang. Biar
aku saja yang dijadikan lambang. Membangun boneka masa kecil atas paksaan dan
siksa, akan berdarah-darah di masa tumbuhnya. Alangkah biadab! Biarkan mereka
lahir seutuhnya dari rahim ibu. Bukan lahir dari tangan-tangan kuasa. Biarkan
anak tumbuh sebagai anak!” Toile membiarkan matanya melahirkan anak air mata yang
meliputi kegeramannya. Dan bercampurlah dengan air mata-air mata atas pendoa
lainnya.
Karya : Umi Latifah
Editro : Byaz