Suryajagad.Net – Satu ciri utama dunia yang tidak akan pernah
hilang ialah masalah. Siapapun yang namanya masih hidup di bumi ini pasti akan
menghadapi masalah, karena masalah ada di mana-mana, mulai dari kolong jembatan
sampai istana kekuasaan. Dari anak-anak hingga kakek-nenek, semua berhadapan
dengan masalah. Prinsipnya setiap jiwa memiliki masalah.
Allah Ta’ala sebagai Pencipta
Alam Semesta sudah mengetahui dan karena itu juga telah mempersiapkan metode
terbaik dalam menghadapi setiap masalah, yakni dengan sabar dan shalat. Allah ta’ala berfirman “Hai orang-orang
yang beriman, jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu, sesungguhnya
Allah beserta orang-orang yang sabar.” (QS. Al-Baqarah [2]: 153).
Adapun sikap yang harus diambil
dalam menghadapi cobaan ada 4 tingkatan. Tingkatan yang pertama adalah marah
dengan takdir yang Allah berikan. Boleh jadi kita marah dalam hatinya dengan
bergumam, boleh jadi kita ucapkan dengan lisan. Orang yang marah dengan
takdir Allah, maka kita dikhawatirkan terjerumus dalam perbuatan kesyirikan
dengan sebab kita mencela takdir. Dan marah kepada takdir pada hakikatnya
marah kepada Allah.
“Dan di antara manusia, ada yang
menyembah Allah di pinggiran. Jika ia diberi nikmat berupa kebaikan, maka
tenanglah hatinya. Namun jika ujian menimpanya, maka berubahlah rona wajahnya,
jadilah ia merugi di dunia dan di akhirat.” (QS. Al-Hajj: 11).
Tingkatan
kedua adalah sabar, Sabar itu memang seperti namanya (sebuah
nama tumbuhan), yang rasanya pahit. Namun hasil dari kesabaran akan lebih manis
dari madu. Ketika seseorang merasakan beratnya ujian dan tidak suka dengan
ujian yang menimpanya, namun kita lebih memilih bersabar sehingga kita merasa
ada atau tidaknya ujian sama saja. Meskipun kita tidak menyukainya, namun
keimanannya menghalanginya untuk marah.
Bersabar ketika menghadapi cobaan
hukumnya wajib, dan seseorang yang tidak bersabar ketika itu akan terjerumus
dalam dosa. Dan sabar adalah tingkatan yang paling minimal yang dimiliki oleh
seorang Muslim ketika menghadapi cobaan. Adapun tingkatan yang lebih tinggi
dari sabar, hukumnya sunnah dan lebih afdhol (utama).
Tingkatan ketiga lebih tinggi
dari tingkatan sebelumnya, yaitu ridho. Kita jadikan ujian dan nikmat yang
menimpanya sama saja, yaitu sama-sama bagian dari takdir dan ketetapan Allah,
meskipun musibah tersebut membuat hati sedih, karena kita adalah seorang yang
beriman pada qodho dan qodar.
Dimana saja Allah tetapkan qodho
dan qodarnya, seperti tertimpa kesulitan atau mendapatkan kemudahan,
tatkala mendapat nikmat atau sebaliknya yaitu tertimpa musibah, semua itu sama
saja. Bukan karena matinya hati, namun karena kesempurnaan ridho dengan takdir
Allah, sebagai Rabb yang mengatur urusannya. Jika kita melihat dalam kacamata
takdir Allah, bagi kita sama saja antara nikmat dan musibah. Sehingga hal
inilah yang menjadi pembeda antara sabar dan ridho.
Keempat tingkatan tertinggi dan
yang paling utama dalam menghadapi cobaan. Karena kita bisa bersyukur atas
musibah yang menimpa. Oleh karena itu, kita bisa menjadi hamba Allah yang penuh
rasa syukur ketika melihat masih banyak orang lain yang lebih berat musibahnya
dibandingkan diri kita. Musibah dalam hal dunia lebih ringan dibandingkan
musibah dalam hal agama, karena adzab di dunia lebih ringan dibandingkan adzab
di akhirat.
Pada hakikatnya, musibah adalah
penghapus dosa dan akan menjadi tambahan kebaikan di sisi Allah tatkala kita
menjadi hamba yang bersyukur. Sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi
wa sallam, “Tidaklah suatu kelelahan, sakit, kesedihan, kegundahan, bahkan
tusukan duri sekali pun, kecuali akan menjadi penghapus dosa baginya.” (HR.
Al-Bukhari dan Muslim)
Demikianlah tingkatan skiap
menghadapi cobaan, kita berharap bisa digolongkan minimal sebagai orang
bersabar, tatkala tertimpa musibah, dan berusaha semaksimal mungkin menjadi
orang yang ridho dan bersyukur tatkala tertimpa musibah. Semoga Allah hapuskan
dosa kita semua dengan sebab musibah yang menimpa diri kita. (Dirangkum dari
berbagai sumber)
Editor : Byaz
Editor : Byaz